MAKALAH PERBUATAN TUHAN, PERBUATAN TUHAN, KEHENDAK MUTLAK TUHAN dan KEADILAN TUHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akidah bagi setiap muslim merupakan
salah satu aspek ajaran Islam yang wajib diyakini. Dalam al-Qur’an akidah
disebut dengan al-Iman (percaya) yang sering digandengkan dengan al-Amal
(perbuatan baik) tampaknya kedua unsur ini menggambarkan suatu integritas dalam
ajaran Islam.
Dasar-dasar akidah Islam telah
dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui pewahyuan al-Qur’an dan kumpulan sabdanya
untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah Saw telah meyakini
dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu
lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan
akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara
harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (al-Qur’an)
jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat
lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat
masing-masing.
Kata kalam berkaitan dengan kata logos
dalam bahasa Yunani yang berarti alasan atau argumen Ahmad Mahmud Shubhi mengutip defenisi ilmu kalam
versi Ibnu Khaldun bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tetang
persoalan-persoalan dasar keimanan dengan menggunakan dalil akal dan menolak
unsur-unsur bid’ah.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa
pembahasan ilmu kalam adalah untuk mempertahankan akidah. Dasar-dasar akidah
yang termaktub di dalam al-Qur’an dianalisa dan dibahas lebih lanjut dengan
menggunakan logika untuk mendapatkan keyakinan yang lebih kokoh.
Persoalan kalam lainnya yang
menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan
tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan
ulama kalam mengenai iman.
Ketika sibuk menyoroti siapa yang
masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, para ulama
kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang
mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ?
atau kerja sama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan
Aliran Fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qadariah dan Freewill yang diwakili Qadariah dan
Mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariah dan Maturidiyah mengambil sikap
pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas
dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau
tidak? apakah perbuatan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah
perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga mencakup
kepada hal-hal yang buruk.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan pembahasan tentang
perbandingan antar aliran, khususnya membahas tentang :
- Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia” dan
permasalahannya …
- Kehendak mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERBUATAN TUHAN
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan
melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari
dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.
1.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak
Rasional, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang
dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan
perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan
perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Di
dalam al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa tuhan tidaklah
berbuat zalim. Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil
oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya diatas adalah surat al-Anbiyaa (21):23 dan surat ar-Rum (30) :
8.
Qadi Abd al-Jabar, seorang tokoh
Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya
berbuat baik dan yang Maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan
tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila
secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan
baik itu adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabar mengandung
petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan
buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya
dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan
yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan
kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban tersebut dapat
disimpulkan dalam satu hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham
kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah)
mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut
ini :
a.
Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban di luar
kemampuan manusia (taklif ma la yutaq)
adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan
akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada
manusia.
b.
Kewajiban mengirimkan Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul tidaklah begitu penting. Namun,
mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu
kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan
dan alam ghaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik
bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan
memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.
Kewajiban menepati janji (al-wa’d)
dan ancaman (wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar
kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya,
yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk
memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi
orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan
tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia.
Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.
Aliran Asy’ariah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat
baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah
wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah, tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Hal ini ditegaskan al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah
tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat sekehendak
hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang
mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima
faham pemberian beban di luar kemampuan manusia,
Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma,
bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul pada manusia.
Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah perrbuatan
tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia, ditinjau dari
sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan
persoalan bagi aliran Asy’ariah, manusia dapat melaksanakan
beban yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya
manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
3.
Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan
antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah
Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik
saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia.
Demikian halnya dengan pengiriman Rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban
Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama
dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti
menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan.
Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin saja.
B. PERBUATAN TUHAN
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana
yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah,
Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan
bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Maka di sini timbullah pertanyaan, sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada
kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup?, dan apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan
kekuasaan mutlak Tuhan?.[1]
1.
Aliran Jabariyah
Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada
perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah
Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi
kemauan yang dipaksakan atas dirinya. Salah seorang tokoh
Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia
mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi
manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik
maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia
perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya
yang dalam istilah al-Qur’an adalah Sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.
Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri banyak
ayat al-Qur’an yang mendukung
pendapat ini misalnya dalam surat al-Kahfi ayat ke-29 yang
artinya : “Katakanlah, kebenaran dari
Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin
kafir maka kafirlah ia”
3.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang
besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau free
wil.l Menurut tokoh Mu’tazilah manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya
yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi Tuhan
tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.
Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Menurut mereka bagaimana mungkin
dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukannya.
Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal,
sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
bentuknya.
4.
Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang
lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya.
Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham
Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb
(acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb)
untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana
manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela
keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-qur’an yang artinya : “Tuhan
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96)
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk
mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan
dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi
kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.
Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan
pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok
pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih
dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut
Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah
bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya
yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham
Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan
Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam
masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan
baginya.
C.
KEHENDAK MUTLAK TUHAN dan KEADILAN
TUHAN
Faham keadilan Tuhan dalam
pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn
dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja
?Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan
penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan
sesuatu pada tempatnya.
1. Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah berprinsip
keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim
dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu
untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari
Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala
perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada
hambanya tanpamengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an
yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:
Al-Anbiya (21) : 47 "Kami akan
memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun
pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat
perhitungan"
Yasin (36) :54 "Maka pada hari itu orang
tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang
telah kamu kerjakan"
Fusshilat (41) :46 "Barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa
yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah
Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya"
An-Nisa (4) : 40 "Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”
dan Kahfi (18) : 49. "Dan diletakkan
kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa
yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata ;”aduhai celaka kami, kitab apakah
ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka ketrjakan ada
(tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun"
2. Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah percaya pada
kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah
kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau
tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu
paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki
serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan
Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala
atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi
Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah
penguasa mutlak.
3. Aliran Maturidiyah
Dalam hal keadilah dan
kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand
dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta
adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand
mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan
batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang
diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil
mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk
berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia.
Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada
manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn
dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan
menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan
dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak
paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya
dan tidak ada batasan bagi-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara
aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
Tentang perbuatan Tuhan semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa
Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi
logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang
dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin
Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad al-Jauhari dan Ghailan
ad-Dimsyaqi).
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah
pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri.
B. SARAN
Persoalan kalam tidaklah harus diyakini, tapi cukup
untuk dipelajari saja, terutama tentang aliran-aliran yang berpandangan tentang
perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul,. Ilmu Kalam,
(Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2006)
Sarjoni, ILMU KALAM “Perbandingan
Antar Aliran : Perbuatan Tuhan dan
Perbuatan Manusia”, (Online) 2010.
sumber : (http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/.,
diakses tanggal 19 April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar